SIKAP BAHASA
A. Pendahuluan
Bahasa adalah salah satu ciri khas manusiawi yang membedakannya dari makhluk-makhluk yang lain. Selain itu, bahasa mempunyai fungsi sosial, baik sebagai alat komunikasi maupun sebagai suatu cara mengidentifikasikan kelompok sosial. Bahasa adalah salah satu lembaga kemasyarakatan, yang sama dengan lembaga kemasyarakatan lain, seperti perkawinan, pewarisan harta peninggalan, dan sebagainya telah memberi isyarat akan pentingnya perhatian terhadap dimensi sosial bahasa. Para ahli bahasa mulai sadar bahwa pengkajian bahasa tanpa mengaitkannya dengan masyarakat akan mengesampingkan beberapa aspek penting dan menarik, bahkan mungkin menyempitkan pandangan terhadap disiplin bahasa itu sendiri. Sosiolinguistik merupakan ilmu yang mempelajari bahasa dengan dimensi kemasyarakatan. Apabila kita mempelajari bahasa tanpa mengacu ke masyarakat yang menggunakannya sama dengan menyingkirkan kemungkinan ditemukannya penjelasan sosial bagi struktur yang digunakan. Dari perspektif sosiolinguistik fenomena sikap bahasa (language attitude) dalam masyarakat multibahasa merupakan gejala yang menarik untuk dikaji, karena melalui sikap bahasa dapat menentukan keberlangsungan hidup suatu bahasa.

B. Pengertian
B.1 Sikap
Sikap merupakan fenomena kejiwaan, yang biasanya termanifestasi dalam bentuk tindakan atau perilaku. Sikap tidak dapat diamati secara langsung. Untuk mengamati sikap dapat dilihat melalui perilaku, tetapi berbagai hasil penelitian menunjukkan bahwa apa yang nampak dalam perilaku tidak selalu menunjukkan sikap. Begitu juga sebaliknya, sikap seseorang tidak selamanya tercermin dalam perilakunya.
Triandis (1971) berpendapat bahwa sikap adalah kesiapan bereaksi terhadap suatu keadaan atau kejadian yang dihadapi. Kesiapan ini dapat mengacu kepada “sikap perilaku”. Menurut Allport (1935), sikap adalah kesiapan mental dan saraf, yang terbentuk melalui pengalaman yang memberikan arah atau pengaruh yang dinamis kepada reaksi seseorang terhadap semua objek dan keadaan yang menyangkut sikap itu. Sedangkan Lambert (1967) menyatakan bahwa sikap itu terdiri dari tiga komponen, yaitu komponen kognitif, komponen afektif, dan komponen konatif. Penjelasan ketiga komponen tersebut sebagai berikut.
1. Komponen kognitif berhubungan dengan pengetahuan mengenai alam sekitar dan gagasan yang biasanya merupakan kategori yang dipergunakan dalam proses berpikir.
2. Komponen afektif menyangkut masalah penilaian baik, suka atau tidak suka, terhadap sesuatu atau suatu keadaan, maka orang itu dikatakan memiliki sikap positif. Jika sebaliknya, disebut memiliki sikap negatif.

3. Komponen konatif menyangkut perilaku atau perbuatan sebagai “putusan akhir” kesiapan reaktif terhadap suatu keadaan.
Melalui ketiga komponen inilah, orang biasanya mencoba menduga bagaimana sikap seseorang terhadap suatu keadaan yang sedang dihadapinya. Ketiga komponen sikap ini (kognitif, afektif, dan konatif) pada umumnya berhubungan erat. Namun, seringkali pengalaman “menyenangkan’ atau “tidak menyenangkan” yang didapat seseorang di dalam masyarakat menyebabkan hubungan ketiga komponen itu tidak sejalan. Apabila ketiga komponen itu sejalan, maka bisa diramalkan perilaku itu menunjukkan sikap. Tetapi kalau tidak sejalan, maka dalam hal itu perilaku tidak dapat digunakan untuk mengetahui sikap. Banyak pakar yang memang mengatakan bahwa perilaku belum tentu menunjukkan sikap.
B.2 Sikap Bahasa
Sikap bahasa adalah tata keyakinan mengenai bahasa dan objek bahasa yang memberikan kecenderungan seseorang untuk bereaksi dengan cara tertentu yang disenanginya. Seperti halnya segala sesuatu yang berhubungan dengan sikap, maka sikap bahasa juga ada yang positif dan ada yang negatif.
Ada tiga ciri sikap bahasa yaitu:
1. Kesetiaan Bahasa (Language Loyalty) yang mendorong masyarakat suatu bahasa mempertahankan bahasanya dan apabila perlu mencegah adanya pengaruh bahasa lain.
2. Kebanggaan Bahasa (Language Pride) yang mendorong orang mengembangkan bahasanya dan menggunakannya sebagai lambang identitas dan kesatuan masyarakat.
3. Kesadaran adanya norma bahasa (Awareness Of The Norm) yang mendorong orang menggunakan bahasanya dengan cermat dan santun merupakan faktor yang sangat besar pengaruhnya terhadap perbuatan yaitu kegiatan menggunakan bahasa (language use).
Ketiga ciri yang dikemukakan Garvin dan Mathiot tersebut merupakan ciri-ciri sikap positif terhadap bahasa. Sikap positif yaitu sikap antusiasme terhadap penggunaan bahasanya (bahasa yang digunakan oleh kelompoknya/masyarakat tutur dimana dia berada). Sebaliknya jika ciri-ciri itu sudah menghilang atau melemah dari diri seseorang atau dari diri sekelompok orang anggota masyarakat tutur, maka sikap negatif terhadap suatu bahasa telah melanda diri atau kelompok orang itu. Ketiadaan gairah atau dorongan untuk mempertahankan kemandirian bahasanya merupakan salah satu penanda sikap negatif, bahwa kesetiaan bahasanya mulai melemah, yang bisa berlanjut menjadi hilang sama sekali.

Sikap negatif terhadap bahasa dapat juga terjadi bila orang atau sekelompok orang tidak mempunyai lagi rasa bangga terhadap bahasanya, dan mengalihkannya kepada bahasa lain yang bukan miliknya. Hal tersebut dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu antara lain: faktor politis, faktor etnis, ras, gengsi, menganggap bahasa tersebut terlalu rumit atau susah dan sebagainya.
Sebagai contoh yaitu penggunaan bahasa Jawa di lingkungan masyarakat Jawa. Dewasa ini penggunaan bahasa Jawa dikalangan masyarakat Jawa sendiri dirasa kurang begitu antusias. Hal ini merupakan tanda-tanda mulai munculnya sikap yang kurang positif terhadap bahasa tersebut. Bahasa-bahasa daerah terkadang dianggap sebagai bahasa yang kurang fleksibel dan kurang mengikuti perkembangan jaman. Demikian pula bahasa Jawa. Anak-anak muda pada jaman sekarang kurang begitu mengerti dan antusias menggunakan bahasa tersebut, karena ada yang merasa bahwa bahasa Jawa terlalu rumit bagi mereka, banyak leksikon dari bahasa Jawa yang tidak dimengerti, ditambah dengan penggunaan tingkat tutur bahasa Jawa dan sebagainya. Hal tersebut merupakan indikasi bahwa mereka sudah tidak berminat lagi untuk mempelajari bahasa Jawa, atau hal itu juga dipengaruhi oleh perkembangan keadaan yang menghendaki segala sesuatu yang serba praktis dan simpel. Sikap negatif juga akan lebih terasa akibat-akibatnya apabila seseorang atau sekelompok orang tidak mempunyai kesadaran akan adanya norma bahasa. Sikap tersebut nampak dalam tindak tuturnya. Mereka tidak merasa perlu untuk menggunakan bahasa secara cermat dan tertib, mengikuti kaidah yang berlaku.
Tidak hanya bahasa daerah, tetapi bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional pun terasa mulai pudar ciri sikap bahasa positifnya. Hal ini tegambar jelas pada seseorang atau sekelompok orang yang tidak mempunyai kesadaran akan adanya norma bahasa dalam tindak tutur. Mereka tidak merasa perlu untuk menggunakan bahasa Indonesia secara cermat dan tertib. Mereka mencampuradukkan bahasa Indonesia dengan bahasa asing. Mereka termotivasi untuk terus belajar dan menggunakan bahasa asing dalam tindak tutur. Bahkan bahasa asing tersebut menjadi kebanggaan tersendiri bagi penuturnya.
Menurut Lambert (1976) motivasi belajar tersebut berorientasi pada dua hal yaitu:
1. Perbaikan nasib (orientasi instrumental) yang banyak terjadi pada bahasa-bahasa yang jangkauan pemakaiannya luas, banyak dibutuhkan dan menjanjikan nilai ekonomi yang tinggi, seperti bahasa Inggris, bahasa Prancis, dan bahasa Jepang.
2. Keingintahuan terhadap kebudayaan masyarakat yang bahasanya dipelajari (orientasi integratif). Orientasi integratif banyak terjadi pada bahasa-bahasa dari suatu masyarakat yang mempunyai kebudayaan tinggi, tetapi bahasanya hanya digunakan sebagai alat komunikasi terbatas pada kelompok etnik tertentu.

Berkenaan dengan sikap bahasa negatif ada pendapat yang menyatakan bahwa jalan yang harus ditempuh adalah dengan pendidikan bahasa yang dilaksanakan atas dasar pembinaan kaidah dan norma-norma sosial dan budaya yang ada dalam masyarakat bahasa yang bersangkutan.
C. Pergeseran dan Pemertahanan Bahasa
C.1 Pergeseran Bahasa
Pergeseran bahasa (language shift) merupakan fenomena sosiolinguistik yang terjadi akibat adanya kontak bahasa (language contact). Pergeseran bahasa menyangkut masalah penggunaan bahasa oleh sekelompok penutur yang bisa terjadi sebagai akibat perpindahan dari satu masyarakat tutur ke masyarakat tutur lain. Apabila seseorang atau sekelompok penutur pindah ke tempat lain yang menggunakan bahasa lain, dan berinteraksi dengan masyarakat tutur di wilayah tersebut, maka akan terjadilah pergeseran bahasa. Kelompok pendatang umumnya harus menyesuaikan diri dengan menanggalkan bahasanya sendiri dan menggunakan bahasa penduduk setempat. Jika berkumpul dengan kelompok asal, mereka dapat menggunakan bahasa pertama mereka tetapi untuk berkomunikasi dengan selain kelompoknya tentu mereka tidak dapat bertahan untuk tetap menggunakan bahasanya sendiri. Sedikit demi sedikit mereka harus belajar menggunakan bahasa penduduk setempat.
Pergeseran bahasa biasanya terjadi di negara, daerah, atau wilayah yang memberi harapan untuk kehidupan sosial ekonomi yang lebih baik, sehingga mengundang imigran/transmigran untuk mendatanginya (Chaer 1995: 190). Fishman (1972) menunjukkan contoh terjadinya pergeseran bahasa pada para imigran di Amerika. Keturunan ketiga atau keempat dari para imigran itu sudah tidak mengenal lagi bahasa ibunya dan malah telah menjadi monolingual bahasa Inggris.
Dari contoh di atas dapat disimpulkan bahawa pergeseran bahasa terjadi pada masyarakat dwibahasa atau multibahasa. Kedwibahasaan menurut Umar (1994:9) dimulai ketika penduduk yang berpindah itu berkontak dengan penduduk pribumi lalu pihak yang satu mempelajari pihak lainnya untuk kebutuhan komunikasi.
Pada situasi kedwibahasaan sering terlihat orang melakukan penggantian satu bahasa dengan bahasa lainnya dalam berkomunikasi. Penggantian bahasa ini biasanya terjadi karena tuntutan berbagai situasi yang dihadapi oleh masyarakat tutur. Selain itu, peralihan atau penggantian bahasa itu dapat terjadi karena penggantian topik pembicaraan.
Peristiwa pergeseran bahasa lebih terkait dengan adanya faktor perpindahan dari satu masyarakat tutur ke masyarakat tutur lain. Di samping itu juga faktor mitra tutur, situasi, topik, dan fungsi interaksi dapat juga menyebabkan pergeseran bahasa. Berdasarkan hal tersebut di atas terlihat bahwa terjadinya pergeseran bahasa lebih terkait dengan faktor lingkungan bahasa.

C.2 Pemertahanan Bahasa
Sebagai salah satu objek kajian sosiolinguistik, gejala pemertahanan bahasa sangat menarik untuk dikaji. Konsep pemertahanan bahasa lebih berkaitan dengan prestise suatu bahasa di mata masyarakat pendukungnya. Sebagaimana dicontohkan oleh Danie (dalam Chaer 1995:193) bahwa menurutnya pemakaian beberapa bahasa daerah di Minahasa Timur adalah karena pengaruh bahasa Melayu Manado yang mempunyai prestise lebih tinggi dan penggunaan bahasa Indonesia yang jangakauan pemakaiannya bersifat nasional. Namun ada kalanya bahasa pertama (B1) yang jumlah penuturnya tidak banyak dapat bertahan terhadap pengaruh penggunaan bahasa kedua (B2) yang lebih dominan.
Konsep lain yang lebih jelas lagi dirumuskan oleh Fishman (dalam Sumarsono 1993: 1). Pemertahanan bahasa terkait dengan perubahan dan stabilitas penggunaan bahasa di satu pihak dengan proses psikologis, sosial, dan kultural di pihak lain dalam masyarakat multibahasa. Salah satu isu yang cukup menarik dalam kajian pergeseran dan pemertahanan bahasa adalah ketidakberdayaan minoritas imigran mempertahankan bahasa asalnya dalam persaingan dengan bahasa mayoritas yang lebih dominan.
Ketidakberdayaan sebuah bahasa minoritas untuk bertahan hidup itu mengikuti pola yang sama. Awalnya adalah kontak guyup minoritas dengan bahasa kedua (B2), sehingga mengenal dua bahasa dan menjadi dwibahasawan, kemudian terjadilah persaingan dalam penggunaannya dan akhirnya bahasa asli (B1) bergeser atau punah. Sebagai contoh kajian semacam itu dilakukan oleh Gal (1979) di Australia dan Dorial (1981) di Inggris. Keduanya tidak berbicara tentang bahasa imigran melainkan tentang bahasa pertama (B1) yang cenderung bergeser dan digantikan oleh bahasa baru (B2) dalam wilayah mereka sendiri.
Kajian lain dilakukan oleh Liberson (dalam Sumarsono 1993:2) yang berbicara tentang imigran Perancis di Kanada, tetapi bahasa pertama (B1) mereka masih mampu bertahan terhadap bahasa Inggris yang lebih dominan, setidak-tidaknya hingga anak-anak mereka menjelang remaja. Masalah bergeser dan bertahannya sebuah bahasa bukanlah hanya karena masalah bahasa imigran, melainkan dipengaruhi oleh banyaknya faktor lain yang dapat mempengaruhi pemertahanan bahasa.

C.3 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pergeseran dan Pemertahanan Bahasa
Pergeseran dan pemertahanan bahasa dipengaruhi oleh berbagai faktor. Masalah pergeseran dan pemertahanan bahasa di Indonesia dipengaruhi oleh faktor yang dilatarbelakangi oleh situasi kedwibahasaan atau kemultibahasaan. Industrialisasi dan urbanisasi dipandang sebagai penyebab utama bergeser atau punahnya sebuah bahasa yang dapat berkait dengan keterpakaian praktis sebuah bahasa, efisiensi bahasa, mobilitas sosial, kemajuan ekonomi dan sebagainya. Faktor lain misalnya adalah jumlah penutur, konsentrasi pemukiman, dan kepentingan politik (Sumarsono 1993: 3).

Pada umumnya sekolah atau pendidikan sering juga menjadi penyebab bergesernya bahasa, karena sekolah selalu memperkenalkan bahasa kedua (B2) kepada anak didiknya yang semula monolingual, menjadi dwibahasawan dan akhirnnya meninggalkan atau menggeser bahasa pertama (B1) mereka. Faktor lain yang banyak oleh para ahli sosiolinguistik adalah faktor yang berhubungan dengan faktor usia, jenis kelamin, dan kekerapan kontak dengan bahasa lain. Rokhman (2000) dalam kajiannya mengidentifikasikan tiga faktor yang mempengaruhi pergeseran dan pemertahanan bahasa pada masyarakat tutur Jawa dialek Banyumas, yakni faktor sosial, kultural, dan situasional.
Kajian tentang berbagai kasus tersebut di atas memberikan bukti bahwa tidak ada satupun faktor yang mampu berdiri sendiri sebagai satu-satunya faktor pendukung pergeseran dan pemertahanan bahasa. Dengan demikian, tidak semua faktor yang telah disebutkan di atas mesti terlibat dalam setiap kasus.

D. Dampak Positif dan Negatif Masyarakat Bilingual atau Multilingual
Mengacu pada sikap bahasa pada masyarakat yang bilingual atau multilingual, terdapat dampak positif dan negatif bagi pembinaan bahasa Indonesia dan bahasa daerah. Memang semakin meluasnya pemakaian bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional, adalah suatu hal yang positif. Tetapi dampak negatifnya seseorang sering mendapat hambatan psikologis dalam menggunakan bahasa daerahnya yang mengenal tingkatan bahasa, seringkali memaksa mereka terbalik-balik dalam bertutur antara bahasa daerah dan bahasa Indonesia. Akhirnya sering terjadi kalimat-kalimat / kata-kata (karena banyaknya terjadi interferensi / campur kode yang tidak terkendali) muncul kata-kata sebagai suatu ragam bahasa baru. Misalnya, bahasa Indonesia yang kejawa-jawaan atau bahasa Indonesia yang keinggris-inggrisan, dan lain-lain. Hal itu pun mulai sering ditemui di masyarakat pengguna bahasa sekarang.
Contoh:
1. Bahasa Indonesia yang kejawa-jawaan.
a. Adanya pemakaian akhiran ‘o’
lihato [ lihatכ ]‘lihatlah’, yang baku sebenarnya adalah lihatlah. Lihat + o
Jadi kata bahasa Indonesia mendapat tambahan akhiran -o, atau seperti akhiran a [ כ ] dalam bahasa Jawa.
b. Adanya pemakaian akhiran ‘-en’
ambilen [ ambIlən ], yang baku adalah ambilah.Ambil + en
Kata ambil dalam bahasa Indonesia mendapat tambahan akhiran -en yang merupakan akhiran dalam bahasa Jawa.

c. Adanya pemakaian akhiran ‘-ke’
biarke [biarke], yang baku adalah biarkan.biar + ke
dudukke [dudU?ke], yang baku adalah dudukkanduduk + ke
ambilke [ambIlke], yang baku adalah ambilkanambil + ke
Akhiran -ke tidak terdapat dalam bahasa Indonesia, akhiran -ke disini digunakan seperti dalam penggunaan akhiran –ake dalam bahasa Jawa.
2. Bahasa Indonesia yang keinggris-inggrisan
Hal ini biasanya terdapat dalam pengucapan/pelafalan bahasa Indonesia yang menyerupai pelafalan/pengucapan bahasa Inggris.
Contoh:
diucapkan Becheq [bεchε?]Becek [bεcεk]
fonem t [t] diucapkan c [c]
gicu [gicu]Gitu [gitu]
anchri [anchri]Antri [antri]
3. Bahasa Jawa yang keindonesia-indonesiaan.
Penggunaan akhiran -lah.
Contoh:
wis ta ‘sudahlah’wislah [wIslah]

DAFTAR PUSTAKA
Abdul Chaer, Leonie Agustina. 2004. Sosiolinguistik Perkenalan Awal. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Harimurti Kridalaksana. 2001. Kamus Linguistik. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Mansoer, Pateda. 1990. Sosiolinguistik. Bandung: Angkasa.
Nababan, P.W.J. 1986. Sosiolinguistik Suatu Pengantar. Jakarta: PT. Gramedia.
Suwito. 1983. Pengantar Awal Sosiolinguistik Teori dan Problema. Surakarta: Henari Offset Solo.
http://www.google.com-sosiolinguistik-sikap bahasa.